Sebelumnya, aku ingin mengucapkan terimakasih, kepada company yang telah memberi kesempatan pertama bagi ku untuk intern sebagai QA dan kepada company yang telah memberi kesempatan bagi ku untuk menjadi satu-satunya QA saat itu, yang kini di tim QA sudah memiliki tiga orang QA dengan aku yang tertua di sana wkwk. Cukup banyak kesalahan yang aku lakukan tapi aku juga banyak belajar dari hal tersebut, yang lima diantaranya adalah:
1. Langsung terjun ke automation, tanpa punya pengetahuan terhadap dasar-dasar testing
Keinginanku untuk terjun ke bidang QA, dimulai dengan mengikuti bootcamp automation. Dimana pada umumnya, bootcamp itu sebagai langkah awal untuk terjun di bidang IT. Tidak ada yang salah dengan mengikuti bootcamp automation tentunya, tapi yang salah adalah saat kita belum mempelajari dasar-dasar testing secara holistic.
Saat di fase tersebut, aku terlalu fokus pada berbagai tools automation, cara membuat script dan melakukan asserting. Padahal, automation test diperlukan setelah berbagai rangkaian manual testing dilakukan terlebih dahulu, dalam pedoman test heuristics.
Tapi, pengalamanku belajar basic automation saat bootcamp, terlebih saat itu aku menempati rangking 2 di kelas, membuat ku bisa melaksanakan technical test saat mengikuti seleksi QA, meskipun tools yang digunakan adalah Cypress, yaitu tools yang tidak aku pelajari ketika bootcamp.
2. Kurang tepat dalam mendefinisikan defect dan bug
Dalam hal ini, defect adalah kesalahan yang ditemui saat testing di server staging, saat fitur tersebut belum release ke production, dan bug adalah kesalahan yang ditemui saat fitur tersebut sudah di production. Ada beberapa fitur yang kompleks yang saat aku tidak tepat dalam mendefinisikan defect yang ditemui sebelum release, akan membuat developer merasa hal tersebut bukanlah defect, melainkan sesuatu yang sudah sesuai requirement sebelumnya. Hingga kemudian hal itu bisa benar-benar terjadi di production (bug) lalu mengganggu flow beberapa user.
Hal inilah yang membuat ku menyadari betapa pentingnya mendefinisikan defect dengan benar, dengan report yang jelas, baik dalam struktur serta penulisan yang efektif, terutama ketika melakukan reproduce bug. Agar memudahkan developer dalam memahami, melakukan debugging hingga melakukan perbaikan.
3. Terlalu lama merasa cukup
Awalnya, aku merasa cukup dengan pengalaman belajarku di bootcamp dan tutorial pembelajaran di YouTube. Cara belajar yang hanya mengandalkan dua hal tersebut, terlebih tidak memiliki learning path, membuatku menjadi QA yang apa adanya, yang jarang memberikan masukan.
Padahal dalam bidang tech, semuanya berkembang sangat cepat, yang membuat kita perlu untuk terus belajar dan bertumbuh.Tentu, kita akan mengalami berbagai fase, terkadang kita semangat, terkadang sudah merasa cukup. Dimana kedua hal ini baik saat sesuai porsinya. Adanya berbagai sumber belajar, baik itu article para expert QA, learning path Applitools, Udemy, Coursera, komunitas ISQA, buku, dllnya, membuat kita meningkatkan skill self-learning agar bisa bijak dalam memutuskan untuk learn, unlearn atau relearn . Mengingat bahwa quality adalah sesuatu yang akan terus bertumbuh, karena pada dasarnya:
Quality itu berhubungan dengan awareness kita dalam melihat sesuatu yang belum tepat dan atau bisa lebih baik lagi, lalu melakukan action perbaikan.
Selain self-learning, critical thingking & communication, adalah beberapa skill yang sangat penting dimiliki di bidang tech ini. Bahkan dalam hal searching di Google pun, kita penting memasukkan keyword yang tepat hingga bisa menemukan berbagai sumber belajar yang penting.
4. Tidak merasakan menjadi real user di production
Menjadi real user itu penting bagi seorang QA, untuk merasakan real experience nya, satu komunitas dengan user tersebut, bisa tahu problem dan pertanyaan apa yang sering muncul dari mereka dalam menggunakan product kita, sekaligus bisa menemukan bug juga^^.
Sekarang aku sudah merasakan menjadi real user di production di beberapa product di company ku, dimana ternyata membuat ku menemukan beberapa bug yang tidak dilaporkan oleh user, karena user tidak menyadarinya ataupun cukup lelah untuk itu.
5. Membawa masalah pekerjaan ke dalam keluarga
Setiap pekerjaan tentu ada problematikanya tersendiri, baik di dalam pekerjaan ataupun ada kaitannya dengan pekerjaan. Misalnya saat aku terlalu sibuk dan atau lelah di pekerjaan hingga lupa memasak buat keluarga :”). Hingga akhirnya aku menyadari bahwa mau sesulit apapun pekerjaan kita, it is only a job, job must be done, but family is number one. Di dalam pekerjaan akan selalu ada hal yang tidak menyenangkan, tapi selalu ada banyak hal yang disyukuri. Perlu diingat bahwa membangun kepercayaan itu butuh waktu, membangun good quality practice di setiap anggota tim juga membutuhkan waktu.
Sekarang, aku sudah berusaha untuk menjalankan tugas ku sebagai ibu rumah tangga yang baik dan tetap profesional di dalam pekerjaanku. Terimakasih sudah membaca^^