Tulisan ini adalah resume singkat oleh saya sebagai peserta terhadap webinar Disk-Line FSK FSRD ITB pada Minggu, 6 September 2020. Kajian lebih lengkap dapat diakses melalui channel YouTube LPPM ITB dengan judul tertera seperti di atas. Berikut sedikit uraiannya:
Bahasa seiring waktu telah mengalami perkembangan. Misalnya, dulu istilah untuk laki-laki yang belum menikah dimana seharusnya ia sudah menikah dipanggil dengan ‘bujang lapuk’, tapi sekarang istilah itu sudah mengalami perubahan makna menjadi ‘lajang’. Contoh lainnya, dulunya istilah ‘janda’ dan sekarang menjadi ‘orang tua tunggal’. Memasuki tahun 2000-an, ‘jomblo’ awalnya hanya kata dalam pergaulan sehari-hari saja, tetapi sekarang sudah masuk di dalam KBBI dengan kata ‘jomlo’. Dinamika bahasa itu terjadi sesuai dengan dinamika masyarakat itu sendiri. Lalu, bagaimana jika fenomena ini dilihat dari kacamata sains?
Otak dan Tanda Bahasa dalam keadaan kebangsaan (dr.Taufiq Pasiak)
Ekspresi salah satunya dituangkan dalam bahasa. Bahasa menjadi lambang, tak hanya sebagai bahasa berkomunikasi, tetapi tentang bagaimana cara kita mengeluarkan isi pikiran kita. Dulu, bahasa dan pikiran adalah hal yang berbeda, akan tetapi saat ini keduanya adalah hal yang sama. Bahasa adalah pikiran dan pikiran itu ialah bahasa.
Otak jika dilihat dari depan, bagian depannya secara evolusi ialah yang paling cepat mengalami perkembangan. Salah satu kemampuannya ialah kemampuan berbahasa. Kita akan tahu bahwa struktur di dalam otak itu mewakili hal-hal yang signifikan. Bagian-bagian di dalam otak itu menggambarkan hal-hal yang sangat luar biasa, dimana otak akan berkembang sedemikian rupa. Ada tiga temuan menarik bagaimana otak kemudian berkembang, yang kemudian perkembangan itu menjadikan manusia juga mengalami perkembangan.
- Gut brain connection: Ini adalah awal bagaimana evolusi berkembang, yaitu ketika manusia pertama kali menemukan api untuk memasak. Dengan penemuan itu, makanan menjadi lembut, sehingga energi manusia bisa fokus digunakan oleh otak dengan maksimal karena fungsi untuk mengolah makanan di usus menjadi berkurang. Usus dan otak hampir memiliki kesamaan. Hal hal yang diproduksi di usus lebih banyak menghasilkan hormon kebahagiaan dibandingkan apa-apa yang dihasilkan oleh otak manusia. Itulah kenapa bahwa manusia menjadi lebih bahagia saat perutnya baik.
- Belief generating machine. Bahwa otak itu seperti mesin hidup yang memproduksi kepercayaan. Jika tidak ada ini (kepercayaan), maka manusia akan kehilangan waktu untuk hal-hal seperti menghafal. Misalnya, kita memiliki kepercayaan bahwa makanan yang kita lihat ialah apel. Kita percaya dengan “nama” makanan itu, dan kita tidak perlu mengecek kamus bahwa itu ialah nasi goreng. Dalam perkembangan selanjutnya, bagian otak ini ditentukan oleh perkembangan kebudayaan. Salah satunya ialah agama. Kepercayaan adalah sesuatu yang sangat kuat, karena berkaitan dengan masa depan. Jika tidak ada ini (kepercayaan), manusia akan mengalami kehidupan yang sulit. Itulah kenapa kita sangat memerlukan kepercayaan.
- Side effect: homo sapiens dan primata. Bahasa ialah hal yang sangat penting, hal ini bisa membedakan kita dengan makhluk lainnya. Karna ia adalah hal penting, kita ternyata harus membayar mahal akan hal itu. Diantaranya ialah halusinasi yang disebabkan oleh kesalahan persepsi. Menurut teori ini, gangguan jiwa yang dialami manusia ialah karena manusia mengenal bahasa tetapi tak bisa menguraikan ekspresi dirinya. Jika diperhatikan, ketika kita berbicara, kita akan menyadari bahwa bahasa itu membawa beban tersendiri. Ketika ekspresi bahasa itu salah, maka ada yang salah dengan pikiran manusia itu, sehingga kita tak boleh menganggap remeh ekspresi bahasa yang kita sampaikan.
Bahasa berkaitan dengan kemampuan otak manusia. Jika diperhatikan, ada banyak kata yang hilang pada setiap orde (zaman), tapi jauh lebih dari itu, tak hanya sekedar kata-kata yang hilang, hal itu menandakan ada hal-hal yang hilang dari alam pikiran manusia. Misalnya dulu kita mengenal istilah “tinggal landas” atau “pluralisme”. Ini melambangkan struktur berfikir manusia yang hilang dan berubah. Poin dari penjelasan diatas ialah bahasa dan pikiran adalah dua hal yang bisa diganti-ganti. Bahasa itu suatu statement yang melambangkan apa yang kita pikirkan.
FUNGSI EKSEKUTIF (Kulman, 2012)
Otak memiliki fungsi eksekutif sebagai seperangkat keterampilan berfikir, memecahkan masalah dan pengendalian diri. Memori ini isinya ialah paket-paket bahasa, diantaranya organization, planning, focus, time management, self-control, flexibility, memory dan self-awareness. Oleh karena itu memang, bahasa jauh lebih dari sekedar yang kita pahami sebagai bahasa komunikasi.
Pada bagian otak, ada area yang khusus menghasilkan bahasa, area ini disebut dengan ‘Broca’. Bagian ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam memahami, akan tetapi ia bisa hilang. Apabila terjadi, maka terdapat masalah pada ‘eksistensi diri’. Jika kemampuan ini rusak, maka tentu pikiran itu akan rusak. Sehingga darinya perlu kita pahami kembali bahwa bahasa itu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Orang linguistik mengatakan bahwa bahasa itu bisa membunuh kita lebih dari sejarah! Oleh karena itu istilah-istilah atau bahasa yang diproduksi itu dapat mewakili hal-hal yang dirasakan.
Apparatus vocalis
Apparatus vovalis berkaitan dengan alat-alat berbahasa. Misalnya, anatomi leher membuat kita mudah dalam berbicara, ketika leher kita baik berfungsi baik, maka mata kita kedepan dan pikiran kita lebih maju (kedepan). Sehingga, hal ini berkaitan dengan manusia yang mampu mengekspresikan masa depan (vision). Ketika manusia itu berdiri tegak, kemampuan manusia sangat luar biasa, dan ini adalah biaya yang sangat mahal yang harus kita bayar.
Slip of the tongue
Slip of the tongue atau biasa kita sebut dengan ‘lidah keseleo’ bukanlah hal yang sepele, hal ini terjadi jika orang tersebut berada dibawah tekanan stress, berada di bawah hal-hal di bawah kendalinya, karena dikondisikan oleh keadaan sekitar sehingga mengeluarkan kata-kata tertentu. Kembali kita mengingat bahasan di awal tadi bahwa bahasa dan pikiran itu adalah hal yang sebangun, maka jika apapun bahasanya mencerminkan pikirannya. Hal ini banyak terjadi di kalangan politikus, riset-riset sebelumnya di bidang ini juga menunjukkan bahwa politikus umumnya melakukan ini (slip of the tongue). Walaupun ini adalah hal yang spontan, tetapi itu melukiskan apa yang ada di pikiran. Kalimat yang tertata dengan baik, itu melukiskan apa yang ada di pikiran. Itu sebabnya kapasitas otak seseorang turut menetukan kapasitas berbahasa yang turut juga menentukan kualitas mutu kehidupan seseorang. Jika ekspresi bahasa mengalami kerusakan, maka terdapat pula kerusakan pada otaknya. Siklusnya dapat digambarkan sederhana: Kapasitas otak-> pembangunan bangsa -> mutu hidup -> kapasitas otak.
dr.Acep Iwan Saidi (Yang Terbungkam dalam Bahasa)
Fungsi utama bahasa bukanlah alat komunikasi, tetapi berfungsi untuk membebaskan manusia dari beban realitas. Hal Ini dapat kita lihat dari awal kelahiran manusia itu. Pada kisah nabi Adam A.S, beliau pertama kali diperkenalkan nama-nama benda. Saat itu pulalah ia diberi bekal untuk terbebas dari benda-benda itu dan benda-benda itu dipindahkan ke dalam bahasa. Misalnya, kita tidak perlu memiliki/membawa sebuah rumah ketika kita ingin menjelaskan sebuah rumah, sehingga melalui bahasa membuat kita menjadi terbebas, tak hanya dari benda, tapi dari berbagai hal termasuk makhluk hidup lainnya. Melalui bahasa, kita dapat memindahkan realitas. Sejak awal, bahasa adalah sesuatu yang tak terpisahkan dari manusia, bahkan ia adalah hal pertama yang Allah SWT ajarkan kepada Nabi Adam a.s, bahwa bahasa ialah diri manusia itu, bahwa bahasa ialah subjek. Lantas dengan itu, manusia bisa berkomunikasi dan berinteraksi. Oleh karena bahasa sudah melekat, bahasa menjadi sebuah tindakan.
Perbedaan antara subjek dan objek cukup sederhana. Bedanya, subjek adalah seseorang yang melakukan suatu aktivitas. Sementara objek adalah suatu benda yang dilibatkan dalam suatu aktivitas. Bagaimana masing-masing orang menghadirkan subjek, disana masing-masing mereka menyampaikan dirinya. Hal ini dapat kita perhatikan pada diri kita yang senang ketika menceritakan tentang diri kita kepada orang lain. Di dalam gaya bahasa, style itu ialah pengarang, bahasa ialah pengarang itu sendiri, sehingga style bahasa ialah cara kita dalam memahami. Subjek ini dapat berkembang menjadi subjek komunitas, subjek suku bangsa dan secara keseluruhan.
Komunikasi: Pertemuan antarsubjek
Bahasa sebagai subjek. Yang kita pahami di sekolah mestinya dipahami dalam subjektif bagaimana kita memahami bahasa itu, jadi seperti apa kita memahami diri kita di dalam subjek itu. Hal ini terkait dengan eksistensi manusia. Di dalam subjek itu, kita sedang mengatakan tentang kita.
Lalu, apa kabar bahasa Indonesia? Apakah bahasa indonesia masih menjadi subjek kita? Ketika kita berbicara bahasa Indonesia, hal ini tidak lepas dari pengaruh politik, yaitu politik perjuangan pada sumpah pemuda. Kenapa bahasa masuk ke dalam sumpah itu? Karena terdapat kesadaran tentang keadaan bangsa yang amat beragam sehingga memerlukan subjek yang mempersatukan.
Bagaimana bersatu menjadi menyatu? Ini didasari ruh kebudayaan. Alat pemersatu. Politik perjuangan itu dapat dibaca pada sila ke 3 (persatuan Indonesia), ini sila yang jejak kebudayaannya sangat eksplisit. Bukan kesatuan, tapi persatuan, yang menunjukkan ada ruh politik untuk menyatukannya, bukan bersatu dengan sendirinya. Ini adalah gelora ekspresi.
Bahasa yang dibersihkan.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang dipengaruhi banyaknya bahasa daerah, harus bisa dibersihkan dengan mengefektifkannya, dengan cara menyempurnakan ejaannya. Dengan itu bahasa harus dikembangkan, bahwa bahasa adalah sebagai sistem. Akan tetapi realitanya, kita mengenal bahasa sebagai ilmu pengetahuan yang kita pelajari di sekolah seperti Matematika dan Fisika, padahal sebenarnya basisnya berbeda. Perlu kita memahami bahwa bahasa Indoneisa bukan bahasa pengetahuan, tetapi bahasa kebudayaan.
KUASA PAROLE
- Tak bermain dalam bahasa publik (Presiden ke-4 Indonesia: Gusdur). Meski beliau diakui mampu memperluas demokrasi, dimana ia tidak ikut bermain dengan bahasa. Ia melihat bahwa bermain dengan bahasa ialah bermain dengan taman kanak-kanak.
- Bahasa diam yang kurang bicara (Presiden ke-5 Indonesia: Megawati). Titik lemahnya ialah dari cara ia berbahasa, ia diam, tapi diamnya tidak terlalu canggih untuk mengeluarkan pembicaraan dari sana.
- Bahasa melankolia (Presiden Indonesia ke 6 : SBY). Beliau menari dalam bahasa. Beliau sendiri banyak curhat, salah satunya menulis buku. Tarian bahasa itu ia ikuti, menjadikan fleksibilitas yang ia miliki, mampu membuatnya bertahan di dua periode kepemimpinan.
- Kuasa perbincangan (Presiden Indonesia ke 7: Jokowi). Beliau senang ketika berada di antara perbincangan. Beliau terus menghasilkan bahasa, terus menabuh bahasa hingga titik maksimal. Menabuh itu harus efektif dengan mengoptimalkan strategi menabuhnya.
Saat ini, teknologi informasi itu kian hari menunjukkan kemampuannya berpartisipatif, dimana setiap orang bisa menjadi tuan rumah dari perbincangan itu sendiri. Itulah sebabnya sekarang kita masuk tradisi lisan digital. Situasinya menurut Bapak Acep sudah sangat berbahaya. Nyaris tidak bisa dibedakan antara satu hal dengan hal lainnya. Kita sedang berada di level ini, sebab tradisi lisan digital ini sudah tidak bisa dibendung. Bahkan Covid-19 tidak bisa menghentikan situasi ini, dimana tidak menjadikan suasana semakin sunyi, akan tetapi sebaliknya. Titik balik dalam revolusi berbahasa ialah ketika kita overload dalam tuturan dan terowongan bahasa. Seringkali bahasa hanya menjadi gema, menjadi pauh. Ketika suatu bahasa seringkali dituturkan, maka akan terjadi penurunan makna. Bahasa menjadi semacam terowongan air di dalam tanah. Kita dibungkam oleh bahasa kita sendiri. Sesungguhnya sebagai warga negara kita tak lagi memiliki bahasa. Kita tidak lagi sebagai subjek. Barangkali menghidupkan kembali yang diam itu, kita harus berani menahan diri sejenak, reflektif dan menahan kembali apa yang disebut imajinasi, karena bahasa kita saat ini telah kehilangan imajinasi.
Prof. Yasraf Amir Piliang (Bahasa, Pikiran dan Peradaban)
SEMIOTICS
Penelitian oleh deSaussure (1990) menjelaskan tentang peran ‘tanda’ pada kehidupan sosial. Hal ini juga oleh Peirce (1958) bahwa tanta atau representamen, ialah sesuatu yang bergantung kepada seseorang untuk sesuatu pada beberapa kapasitas. Semiotik berfokus kepada segala sesuatu yang bisa dijadikan tanda. Sebuah tanda adalah sesuatu yang bisa bisa diambil dan digantikan untuk sesuatu yang lain (Umberto, 1979).
Untuk selanjutnya, hal-hal terkait ini benar-benar teknis dan sulit ditulis resumenya hehe. Berikut closing statement dari pemateri:
Kang acep: diskusi itu seperti selemah-lemahnya iman.
Pak pasiak: kata-kata itu bisa membunuh dan bisa juga menguatkan, kita harus cermat memilih kata. Hati-hati dengan kata!
Pak Uda Yasraf: bahasa tidak hanya sebagai alat dan represensatif, tapi ia punya kuasa. Tergantung bagaimana ia digunakan. Ketika ia dikatakan tapi tidak dilaksanakan, dan kita sering sekali melihatnya. Bahasa dapat membunuh diri sendiri.
Kolom Opini
Seiring perkembangan zaman yang berevolusi, sudah sebaiknya kita juga melakukan hal tersebut pada cara kita berbahasa. Baik itu secara lisan, tulisan, ataupun bahasa yang kita gunakan terhadap obrolan dengan diri kita sendiri (bahasa hati?). Di era digital dimana setiap orang mudah untuk menyampaikan bahasanya, menjadi tantangan tersendiri untuk kita. Bahwasanya penting barangkali kita “menahan diri” terhadap hal-hal yang ingin kita sampaikan mengikuti suasana hati dan pikiran yang masih belum matang. Karena jika hidup adalah pertanggungjawaban, setiap apa yang kita ucapkan tetap juga merupakan pertanggungjawaban. Apa-apa yang telah terjadi termasuk kata yang seseorang ucap bisa saja menyakiti orang lain, dimana dalam menyampaikan, penting agaknya bagi kita untuk membaca situasi untuk dapat menyampaikannya dengan tepat. Kesalahan berbahasa berasal dari ketidakteraturan pikiran seseorang dan kurangnya kontrol diri. Maka dari itu, yuk kita belajar untuk menata pikiran dan menata cara kita kembali dalam berbahasa.
Bismillah~